hukum adat perkawinan_FH UIN Bandung


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang sejak dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. walaupun tidak tertulis namun hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat
      Hukum adat bagi masyrakat berfungsi sebagai neraca yang dapat menimbang baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas suatu perbuatan atau peristiwa dalam masyarakat. Sehingga hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, morak dan nilai adat dalam kehidupan masyarakat. 
      Ini berarti bahwa walaupun hukum adat itu tidak tertulis tetapi didalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang bertindak, berprilaku baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat secara luas.
    Di dalam hukum adat apabila masyarakat untuk memutuskan sesuatu harus melalui musyawarah dan mufakat oleh Nenek Mamak, Tuo-tuo Tengganai, Alim Ulama dan Cerdik Pandai yang berhak untuk menolak atau menerima suatu putusan yang apakah bertentangan atau tidak dengan kepentingan rakyat, dan inilah yang disebut dalam seloko adat " Raja adil raja disembah, Raja zalim raja disanggah".
    Untuk menghindari hal demikian menurut hukum adat hendahlah setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya dan bebas menurut hukuman adil dan patut atau pantas. Sehingga pemimpin tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat "Kalau bulat dapat digulingkan, pipih dapat dilayangkan, putih berkeadaan, merah dapat dilihat, panjang dapat diukur, berat dapat ditimbang. Seandainya keputusan-keputusan yang diambil bertentangan dengan ungkapan-ungkapan seperti ungkapan-ungkapan di bawah ini, berarti keputusan tersebut tidak boleh dikatakan adil dan patut menurut hukum adat. Untuk menentukan salah dan benar menurut hukum adat sesuatu perbuatan harus diteliti (disimak) dalam petatah petitih dan seloko adat adalah " Terpijak benang arang hitam tapak kaki, tersuruk di gunung kapur putih tengkuk, sia-sia negeri alah, tateko hutang tumbuh, pinjam memulangkan, sumbing menitip, hilang menggantikan".
Sehingga ungkapan tersebut apabila terjadi sulit bahkan sangat sulit untuk menolak kebenarannya, serta dipatuhi oleh masyarakat karena adil dan patut, adil menurut orang yang tahu pada hukum adat dan patut menurut orang yang tahu pada nilai sesuatu. Oleh karenanya proses peradilan yang demikian setiap keputusannya akan mudah dapat dipahami dan diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa serta dapat dengan mudah menghabiskan segala dendam kesumat.    Untuk menguatkan keputusan yang berat dan rulit dikuatkan dengan gantung pauh-pauh (setih-setiah) atau janji-janji antara pihak-pihak yang berdamai dimuka sidang Nenek Mamak.
Dalam masyarakat adat perkawinanpun mempunyai arti yang demikian pentingnya, mak apelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap.
Menarik memang ketika membahas adat dan kebiasaan yang dilakukan dalam suatu perkawinan dalam masyarakat ada. Apalagi Indonesia, yang setiap daerah atau wilayah memiliki hukum perkawinan adat yang berbede-beda. Dan memiliki upacara adat perkawinan yang dalam masyarakat adat tersebut dianggap sangat sakral.
B.Identifikasi Masalah
            Melihat dari uraian latar belakang tersebut maka perlu rumusan-rumusan masalah sebagai berikut:















BAB III
TINJAUAN TEORITIS
Tentang
PERKAWINAN ADAT

  1. Pengertian Perkawinan Adat
Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Van Gennep menamakan semua upacara perkawinan sebagai ”Rites De Passage” (upacara peralihan) yang melambangkan peralihan status dari masing masing mempelai yang tadinya hidup sendiri sendiri berpisah setelah melampaui upacar yang disyaratkan menjadi hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri.
A.1 Sistem Perkawinan Adat
Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :
  1. Sistim Endogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.
  1. Sistim Eksogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.
  1. Sistim Eleutherpgami
Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun exogami.
Laragan yang terdapat dalam sistim ini adalah larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu larangan karena :
    1. Nasab ( =turunan dekat ), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
    2. Musyaharah (=per iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua anak tiri.
A.2 Asas- asas Perkawinan Adat
Ø Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut :
  1. perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
  2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
  3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat
  4. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
  5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak anak. Begitu pula walauoun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.
  6. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah pihak.
  7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
A.3 Bentuk- bentuk perkawinan adat
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu
  • Perkawinan Pinang
  • Perkawinan Lari Bersama
  • Kawin Bawa Lari
Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
  1. Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
Ø Perkawinan Jujur
Ø Perkawinan Mengabdi
Ø Perkawinan Mengganti/ Levirat
Ø Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
Ø Perkawinan Bertukar
Ø Perkawinan Ambil Anak
b.      Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar.
Anak-anak yang akan dilahirkan termasukdalam clan ibunyayang matrilineal.
c.       Bentuk perkawinan pada masyarakat Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir kelak dan seterusnya.
A.4 Perkawinan anak- anak
Yaitu perkawinan antara seorang pemuda dengan seorang gadis di mana usianya masih di bawah umur (belum dewasa). Maka setelah perkawinan dilangsungkan, hidup bersama antara kedua mempelai sebagai suamiistri ditaguhkan sampai mereka sudah dewasa.
Tujuan perkawinan anak-anak :
  1. Untuk merealisir hubungan kekeluargaan antara kedua kerabat.
  2. Mempelai laki- laki merupakan tenaga kerja bagi mempelai wanita.
  3. Mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui keluarga.



    

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "hukum adat perkawinan_FH UIN Bandung"

Post a Comment